Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir, Bolehkah?

M. Kamalul Fikri

0 Comment

Link

IslamIndonesia.co – Sebagian golongan memandang hermeneutika bukan sekadar tafsir, melainkan “metode tafsir” tersendiri atau suatu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir al-Qur’an. Dalam tulisan Shahrur, dari perjalananya, jelas bahwa penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an memang tidak terlepas dari tradisi Kristen, yakni penafsiran Bible.

Shahrur mengatakan bahwa, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna di balik teks. Lebih dari itu, ia berusaha mengupas makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontektualisasi.

Menurut Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya, Hermeneutika Inklusif, masalah dasar yang diteliti hermeneutika ialah masalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian banyak lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan al-turāts di satu sisi, serta hubungan teks di sisi lain.

Yang terpenting di antara sekian banyak persoalan tersebut ialah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan mufassir dengan teks. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan teks yang berupa bahasa. Peradaban Arab Islam tidak mungkin melupakan sentralisasi teks. Menurut Nashr Hamid Abu Zayd, prinsip-prinsip, ilmu-ilmu, dan kebudayaan Arab Islam itu tumbuh dan berdiri di atas teks.

Meskipun demikian, teks tidak akan bisa apa-apa kalau tidak ada campur tangan manusia. Artinya, teks tidak akan mampu mengembangkan peradaban dan keilmuan Arab Islam apabila tidak mendapatkan sentuhan dari pemikiran manusia. Dengan kata lain agama sebagai teks tidak akan berfungsi apabila keberadaanya tidak dipikirkan manusia. Karenanya, ia berpendapat bahwa perkembangan Islam itu sangat tergantung kepada relasi dialektis antara manusia dengan dimensi realitasnya pada satu sisi, dan teks pada sisi yang lainnya.

Di sini, jelas terlihat Nashr Hamid Abu Zayd mengganggap Islam dan Al-Qur’an masih harus terus didialektikkan dan harus mengikuti perubahan zaman, bukan hanya dalam tataran praktis, namun juga dalam tataran konsep, termasuk konsep mengenai metode tafsir. Sejalan dengan ini, dalam kitab Nahjul Balaghah dijelaskan:

“Al-Qur’an hanyalah tulisan yang tertera dalam mushaf, tidak bisa berbicara dengan lisan, melainkan harus ada yang memahaminya. Al-Qur’an dibicarakan oleh manusia.”

Najhul Balaghah

Terlebih lagi, Nashr Hamid dan para tokoh hermeneutika lainnya memandang Al-Qur’an hanya sebatas produk budaya, bukan ‘Kalam Allah’ sehingga tidak lepas dari konteks sosiocultural masyarakat Arab saat Al-Qur’an diturunkan (historis kritis). Metode penafsiran Nasr Hamid yang melepaskan posisi teks Al-Qur’an dari ‘Kalam Allah’ dapat dilihat dari kritikannya terhadap metode tafsir Ahlu Sunnah, dengan simpulan:

  • Tafsir yang benar menurut Ahlu Sunnah, dulu dan sekarang, merupakan tafsir yang didasarkan pada otoritas ulama terdahulu;
  • Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlu Sunnah, dulu dan sekarang, ialah usaha yang mengaitkan “makna teks” dan “dalālah”-nya dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu.

Ini bukan saja kesalahan “pemahaman”, melainkan juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas—suatu sikap yang bersandar pada keterbelakangan, anti kemajuan, dan anti progresivitas.

Oleh sebab itu, kita bias lihat, kaum Ahlu Sunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran Al-Qur’an pada empat hal: penjelasan Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan tafsir bahasa.

Jadi, ketika konsep teks Al-Qur’an dibongkar, dan dilepaskan dari posisinya sebagai ‘Kalam Allah’, maka Al-Qur’an akan diperlakukan sebagai ‘teks bahasa’ dan ‘produk budaya’ sehingga bisa dipahami melalui kajian historisitas, tanpa memperhatikan bagaimana Rasul dan para sahabat beliau mengartikan atau mengaplikasikan makna ayat-ayat Al-Qur’an dalam kehidupan mereka.

Dengan pembongkaran Al-Qur’an sebagai ‘Kalam Allah’, maka barulah metode hermeneutika memungkinkan digunakan untuk memahami Al-Qur’an. Metode ini memungkinkan penafsiran Al-Qur’an menjadi bisa disesuaikan dengan tuntutan nilai-nilai budaya yang sedang dominan (Barat). Akibatnya, kini muncul konsep-konsep seperti:

  • relativisme tafsir dan dekonstruksi syari’ah, serta
  • menolak otoritas mufassir.

Inilah salah satu alasan kemudian munculnya dua kelompok besar dalam memandang hermeneutika sebagai metode tafsir al-Qur’an, yakni golongan pro dan golongan kontra.

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment